Peradaban Melayu dan Masuknya Islam di Provinsi Jambi
"Peradaban Melayu dan Masuknya Islam di Provinsi Jambi"
Jauh sebelum abad masehi, etnis Melayu telah mengembangkan suatu corak kebudayaan Melayu pra sejarah di wilayah pegunungan dan dataran tinggi. Masyarakat pendukung kebudayaan Melayu pra sejarah adalah Suku Kerinci dan Suku Batin. Orang kerinci di perkirakan telah menempati caldera Danau Kerinci sekitar tahun 10.000 SM sampai 2.000 SM. SukuKerinci dan Suku Batin adalah suku tertua di Sumatera. Mereka mengembangkan kebudayaan batu, seperti kebudayaan neolitikum.
Kehadiran agama Budha sekitar abad 4 Masehi mendorong lahir dan berkembang suatu corak kebudayaan Buddhis. Kebudayaan ini diidentifikasikan sebagai corak kebudayaan Melayukuno.
Masyarakat pendukung kebudayaan Melayu Buddhis yang masih ada di Jambi adalah Suku Anak Dalam (Kubu). Namun peninggalan monumental kebudayaan Melayu Buddhis adalah bangunan candi-candi yang tersebar di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, salah satunya situs Candi Muaro Jambi.
Pada masa kebudayaan Buddhis sedang mengalami kemunduran, sekitar abad 11-14 Masehi, bersamaan waktunya di daerah Jambi mulai berkembang suatu corak kebudayaan Islam. Kehadiran Islam pada abad 7 Masehi dan sekitar abad 11 Masehi Islam mulai menyebar ke seluruh lapisan masyarakat pedalaman Jambi.
Dalam penyebaran Islam ini, Pulau Berhala dipandang sebagai pulau yang sangat penting dalam sejarah Islam di Jambi. Sejarah mencatat, dari Pulau Berhala itulah agama Islam disebarkan ke seluruh pelosok daerah Jambi. Kehadiran Islam membawa perubahan mendasar bagi kehidupan sosial masyarakat Melayu Jambi. Agama Islam pelan tapi pasti mulai menggeser kebudayaan Melayu Buddhis sampai berkembangnya corak kebudayaan Melayu Islam.
Kebudayaan daerah tidak lain adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat lokal sebagai pendukungnya. Sedangkan kebudayaan Melayu Jambi adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah etnis Melayu Jambi. Bagi masyarakat Melayu Jambi, adat mereka mengacu ke Islam. Islam dan adat adalah dua hal yang tidak terpisah. Sebuah seloko yang sering diulang adalah “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato, adat memakai”.
Seloko ini berarti bahwa adat atau kebiasaan masyarakat Melayu Jambi didasarkan pada syariat yang berasal dari kitab suci Islam. Apa yang dititahkan syariat, dipakai oleh adat.
Kuatnya Islam dipegang oleh masyarakat Melayu Jambi membawa implikasi, antara lain penolakan masyarakat Jambi terhadap hal yang mereka anggap bukan Islam. Masyarakat Jambi misalnya memotong sejarahnya dan mengambil kedatangan Islam sebagai tonggak bermula.
Islamisasi di manapun tidak pernah berjalan sangat mulus. Kalaupun bukan gelombang, riak-riak kecil mewarnai prosesnya. Di dalam masyarakat Melayu Jambi, cerita tentang riak itu tidak pernah dimunculkan, karena merupakan bagian dari masa lalu yang bukan Islam, yang justru ingin mereka hilangkan.
Selepas reformasi, terjadi kebangkitan adat di banyak tempat di Indonesia. Jambi juga tidak lepas dari fenomena itu. Kesultanan Jambi yang sudah lama jatuh, dihidupkan lagi. Muncul organisasi-organisasi yang secara eksklusif menamakan diri Melayu, termasuk lembaga adat yang semula bernama Lembaga Adat Propinsi Jambi berubah menjadi Lembaga Adat Melayu Jambi.
Perubahan desa menjadi rio dan muncul peraturan daerah yang mengatur kebudayaan Melayu secara khusus. Seorang pegiat kebudayaan di Jambi mengatakan bahwa terjadi “orientasi Melayu” dalam banyak peraturan daerah yang diterbitkan. Padahal, masyarakat Jambi sekarang tidak hanya terdiri atas etnis Melayu, tapi multietnis.
Kebangkitan adat ini tentu saja mengabaikan keragaman etnis yang ada di Jambi. Beberapa kabupaten yang didominasi oleh etnis lain, seperti Kerinci serta Tanjung Jabung Barat dan Timur, seolah keluar dari aturan yang ada.[1]
Dalam kenyataannya, adat istiadat dan budaya sangat dipengaruhi oleh ritual dan keyakinan agama. Pada saat masyarakat Jambi masih menganut kepercayaan animisme, dinamismen, hindu dan kemudian Budha, maka adat dan budaya masyarakat Jambi waktu itu diwarnai oleh ajaran-ajaran tersebut. Selanjutnya ketika masyarakat Jambi menganut agama Islam, maka adat dan hukum adat serta budayanya kemudian diwarnai oleh ajaran Islam.
Gambar : Masjid Agung Al-Falah
Hanya saja ajaran Islam ini begitu dalam menusuk jiwa mereka membuat pengaruhnya terhadap adat dan budaya Jambi sangat besar melahirkan keyakinan bahwa adat istiadat dan budaya tersebut tidak boleh bertentangan dengan agama Islam. Keyakinan ini kemudian membuahkan kesepakatan bagi pemeluk agama Islam di Kesultanan Jambi untuk berpegang kepada adagium “Adat Bersendi Syarak dan Syarak Bersendi Kitabullah”. Bukan Adat Bersendi Syarak dan Syarak Bersendi Adat. Adagium ini kemudian menafikan pengaruh agama-agama dan kepercayaan yang pernah ada sebelumnya.
Agama yang pernah ada sebelumnya cepat tersingkir dan agama baru yang lain dari Islam yang mencoba mempengaruhi, dengan adagium ini dengan sendirinya menjadi tertolak. Dengan Demikian, maka adat dan budaya Melayu Jambi menjadi sangat religius, karena didasari oleh ajaran-ajaran Kitabullah. Dan nilai-nilai religius tersebut adalah nilai-nilai religius yang islami, sehingga menarik untuk ditelaah mengenai nilai-nilai religius yang mewarnai budaya melayu Jambi tersebut.[2]
Referensi :
1. https://infojambi.com/islam-dan-peradaban-melayu-jambi/
2. https://repository.unja.ac.id/696/
Komentar
Posting Komentar