Komponen Pembelajaran (Karakteristik siswa dan pembelajaran fisika, Tujuan pembelajaran, dan Asesment pembelajaran)



Pertemuan Ke-2
I. KARAKTERISTIK SISWA
A.    Pengertian Karakteristik Siswa
Karakteristik berasal dari kata karakter yang berarti tabiat watak, pembawaan, atau kebiasaan yang di miliki oleh individu yang relatif tetap (Pius Partanto, Dahlan, 1994).
Karakteristik adalah mengacu kepada karakter dan gaya hidup seseorang serta nilai-nilai yang berkembang secara teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan mudah di perhatikan (Moh. Uzer Usman,1989).
Siswa atau anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan pendidikan. Anak didik adalah unsur penting dalam kegiatan interaksi edukatif karena sebagai pokok persoalan dalam semua aktifitas pembelajaran (Saiful Bahri Djamarah, 2000).

B.     Manfaat Analsis Karakteristik Siswa
1.      Guru dapat memperoleh tentang kemampuan awal siswa sebagai landasan dalam memberikan materi baru dan lanjutan.
2.      Guru dapat mengatahui tentang luas dan jenis pengalaman belajar siswa, hal ini berpengaruh terhadap daya serap siswa terhadap materi baru yang akan disampaikan.
3.      Guru dapat mengetahui latar belakang sosial dan keluarga siswa. Meliputi tingkat pendidikan orang tua, sosial ekonomi, emosional dan mental sehingga guru dapat menajjikan bahan serta metode lebih serasi dan efisien.
4.      Guru dapat Mengetahui tingkat pertumbuhan dan perkembangan dan aspirasi dan kebutuhan siswa.
5.      Mengetahui tingkat penguasaan yang telah di peroleh siswa sebelumnya .

C.    Klasifikasi Karakteristik Siswa
1.      Pribadi dan Lingkungan
-          Umur
-          Jenis kelamin
-          Keadaan ekonomi orang tua
-          Kemampuan pra sekolah
-          Lingkungan tempat tinggal

2.      Psikis
-          Tingkat kecerdasan
-          Perkembangan jiwa anak
-          Modalitas belajar
-          Motivasi
-          Bakat dan minat

D.    Klasifikasi Kecerdasan
> 140               = Genius
130 – 139        = Sangat Pandai
120 – 129        = Pandai
110 – 119        = Di atas Normal
90 –109           = Normal/Sedang
80 – 89            = Di bawah Normal
70 – 79            = Bodoh
50 – 69            = Feeble Minded: Moron
< 49                 = Feeble Monded: Imbicile/Idiot

E.     Modalitas Belajar
Ø  Siswa Visual N :
1.        Rapi dan teratur
2.        Berbicara dengan cepat
3.        Mementingkan penampilan, baik dlm pakaian maupun presentasi
4.        Biasanya tidak terganggu oleh keributan
5.         Lebih suka membaca daripada dibacakan
6.        Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telpon/kuliah
7.        Lebih suka demonstrasi daripada berpidato
8.        Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat, ya/tidak!
9.        Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya
10.    Mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar, dll

Ø  Siswa Auditorial O
1.      Berbicara kepada diri sendiri saat bekerja
2.      Mudah terganggu oleh keributan
3.       Menggerakkan bibir dan mengucapkan tulisan di buku saat membaca
4.       Merasa kesulitan untuk menulis, namun hebat dalam bercerita
5.       Lebih suka gurauan lisan daripada komik
6.       Berbicara dalam irama terpola
7.       Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat
8.       Suka berbicara, suka berdiskusi dan menjelaskan sesuatu panjang lebar
9.       Dapat menirukan warna, irama dan nada suara, dll
Ø  Siswa Kinestetik N
1.      Berbicara dengan perlahan
2.       Menanggapi perhatian fisik
3.       Menyentuh orang untuk mendapat perhatian mereka
4.       Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang
5.       Selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak
6.       Menghafal dengan cara berjalan dan melihat
7.       Menggunakan jari sebagai petunjuk saat membaca
8.       Banyak menggunakan isyarat tubuh
9.       Mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar
10.  Sulit mengingat peta kecuali jika dirinya pernah berada di tempat itu
11.  Kemungkinan tulisannya jelek
12.  Tidak dapat duduk diam untuk waktu lama


II. KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS CTL (CONTEXTUAL TEACHING LEARNING)
A.    Pengertian Pembelajaran Fisika Berbasis Ctl
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

B.     Konsep Dasar Pembelajaran Fisika Berbasis Ctl
Strategi pembelajaran CTL berebeda dengan strategi-strategi yang telah kita bicarakan sebelumnya, CTL merupppaaakan strategi yang melibatkan sswa secara penuh dalam proses pembelajaran. Siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pelajaran sesuai dengan topik yanng akan dipelajarinya. Belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekadar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui proses berpengalaman itu diharapkan perkembangan siswa terjadi secara utuh, yang tidak hanya berkembang dalam aspek kognitif saja, tetapi juga aspek psikomotorik. Belajar melalui CTL diharapkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang dipelajarinya.
Pembelajaran interaktif menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:297) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No. 20 Tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru. Pendapat ini sejalan dengan Jerome Brunner (1960) mengatakan bahwa: ‘’Perlu adanya teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas’’. Selanjutnya menurut Bruner teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu preskriptif.
Hal ini menggambarkan bahwa orang yang berpengetahuan adalah orang yang terampil memecahkan masalah, mampu berinteraksi dengan lingkungannya dalam menguji hipotesis dan menarik generalisasi dengan benar. Jadi belajar dan pembelajaran diarahkan untuk membangun kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan itu sumbernya dari luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pengetahuan tidak diperoleh dengan cara diberikan atau ditransfer dari orang lain, tetapi ‘’dibentuk dan dikonstruksi’’ oleh individu itu sendiri, sehingga siswa itu mampu mengembangkan intelektualnya.

C.    Karakteristik Pembelajaran Fisika Berbasis Ctl
Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya, M.Pd. (2005:110), sebagai berikut:
1.      Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activtinging knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2.      Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
3.      Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
4.      Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
5.      Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan strategi.


III. TUJUAN PEMBELAJARAN DALAM PELAJARAN FISIKA
A.    Format Abcd Dalam Tujuan Pembelajaran
1.      Tujuan pembelajaran yang dinyatakan dengan baik mulai dengan menyebut Audience peserta didik untuk siapa tujuan itu dimaksudkan.
-          Premis utama pengajaran sistematik adalah fokus pada apa yang dilakukan siswa, bukan apa yang dilakukan guru.
-          Pembelajaran paling mungkin terjadi bila siswa aktif, baik secara mental memproses ide-ide atau secara fisik berlatih keterampilan.
-          Karena tercapainya tujuan bergantung kepada apa yang dilakukan siswa, maka tujuan pembelajaran mulai dengan menyatakan kemampuan siapa yang akan berubah, sebagai misal, “siswa kelas-sembilan” atau “peserta wokrkshop pembelajaran inovatif.”
2.      Tujuan itu kemudian mencantumkan  Behavior atau kemampuan yang harus didemonstarsikan dan Conditions seperti apa perilaku atau kemampuan yang akan diamati.
-          Inti tujuan pembelajaran adalah kata kerja yang mendeskribsikan kemampuan baru yang akan dimiliki audience setelah pengajaran.
-          Kata kerja ini dapat paling jelas mengarahkan perhatian guru jika kata kerja itu dinyatakan sebagai perilaku yang dapat diamati.
-          Kata kerja yang kabur seperti mengetahui, memahami dan mengapresiasi  tidak mengkomunikasikan tujuan guru dengan jelas. 
-          Kata-kata yang lebih baik menyatakan kinerja yang dapat diamati meliputi mendefinisikan, mengkategorikan, dan mendemonstrasikan.
-          Behavior atau kinerja yang dinyatakan dalam tujuan seharusnya mencerminkan kemampuan dunia-nyata yang dibutuhkan  oleh siswa, bukan kemampuan artifisial atau tidak nyata/buatan semata-mata untuk berhasil dalam tes.
-          Pernyataan tujuan seharusnya memasukkan kondisi-kondisi saat  siswa melakukan kinerja yang dievaluasi.
-          Sebagai misal, apakah siswa diijinkan untuk menggunakan catatan atau membuka buku saat mengidentifikasi variabel dalam sebuah hipotesis.
-          Jika tujuan dari dari pelajaran tertentu adalah agar siswa dapat mengidentifikasi burung-burung, apakah identifikasi dilakukan dari  sejumlah transparansi berwarna atau  sejumlah foto hitam putih?
-          Jadi sebuah tujuan dapat dinyatakan, “Diberikan sejumlah transparansi berwarna, siswa dapat mengidentifikasi burung-burung itu.”
-          Atau  contoh lain, “Tanpa membuka buku, siswa dapat menyebutkan Hukum Ohm.” 
3.      Akhirnya, tujuan itu mencantumkan Degree keterampilan baru itu harus  dicapai dan diukur, yaitu dengan standar seperti apa kemampuan itu dapat dinilai.
-          Persyaratan terakhir tujuan pembelajaran yang dirumuskan dengan baik adalah rumusan itu menunjukkan standar, atau  kriteria , yaitu kriteria yang digunakan untuk menilai kinerja siswa. Misalnya tingkat kecermatan atau ketuntasan seperti apa yang harus diperagakan siswa?
-          Apakah kriteria itu dinyatakan dalam istilah kualitatif atau kuantitatif, kriteria itu seharusnya didasarkan pada persyaratan dunia nyata. Sebagai misal,  “Siswa dapat meloncat  melewati mistar setinggi 175 cm.” atau “Siswa dapat merencanakan eksperimen untuk menguji sebuah hipotesis sesuai rincian tugas kinerja yang ditentukan.”

B.     Taksonomi Bloom
Taksonomi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu tassein yang berarti mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Jadi Taksonomi berarti hierarkhi klasifikasi atas prinsip dasar atau aturan. Istilah ini kemudian digunakan oleh Benjamin Samuel Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan yang melakukan penelitian dan pengembangan mengenai kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran.
Sejarah taksonomi bloom bermula ketika awal tahun 1950-an, dalam Konferensi Asosiasi Psikolog Amerika, Bloom dan kawan-kawan mengemukakan bahwa dari evaluasi hasil belajar yang banyak disusun di sekolah, ternyata persentase terbanyak butir soal yang diajukan hanya meminta siswa untuk mengutarakan hapalan mereka. Konferensi tersebut merupakan lanjutan dari konferensi yang dilakukan pada tahun 1948. Menurut Bloom, hapalan sebenarnya merupakan tingkat terendah dalam kemampuan berpikir (thinking behaviors). Masih banyak level lain yang lebih tinggi yang harus dicapai agar proses pembelajaran dapat menghasilkan siswa yang kompeten di bidangnya. Akhirnya pada tahun 1956, Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl berhasil mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Taxonomy Bloom.
Jadi, Taksonomi Bloom adalah struktur hierarkhi yang mengidentifikasikan skills mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi. Tentunya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, level yang rendah harus dipenuhi lebih dulu. Dalam kerangka konsep ini, tujuan pendidikan ini oleh Bloom dibagi menjadi tiga domain/ranah kemampuan intelektual (intellectual behaviors) yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Taksonomi Bloom mengalami dua kali perubahan perubahan yaitu Taksonomi yang dikemukakan oleh Bloom sendiri dan Taksonomi yang telah direvisi oleh Andreson dan KartWohl. Untuk pembahasan masing-masing dijelaskan sebagai berikut,
1.      Ranah Kognitif
Tujuan kognitif atau Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktifitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai jenjang yang tertinggi yang meliputi 6 tingkatan antara lain :
1.      Pengetahuan (Knowledge) – C1
Pada level atau tingkatan terendah ini dimaksudkan sebagai kemampuan mengingat kembali materi yang telah dipelajari, misalnya: (a) pengetahuan tentang istilah; (b) pengetahuan tentang fakta khusus; (c) pengetahuan tentang konvensi; (d) pengetahuan tentang kecendrungan dan urutan; (e) pengetahuan tentangklasifikasi dan kategori; (f) pengetahuan tentang kriteria; dan (g) pengetahuan tentang metodologi. Contoh: menyatakan kebijakan.
2.      Pemahaman (Comprehension) – C2
Pada level atau tingkatan kedua ini, pemahaman diartikan sebagai kemampuan memahami materi tertentu, dapat dalam bentuk: (a) translasi (mengubah dari satu bentuk ke bentuk lain); (b) interpretasi (menjelaskan atau merangkum materi);(c) ekstrapolasi (memperpanjang/memperluas arti/memaknai data). Contoh : Menuliskan kembali atau merangkum materi pelajaran
3.      Penerapan (Application) – C3
Pada level atau tingkatan ketiga ini, aplikasi dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menerapkan informasi dalam situasi nyata atau kemampuan menggunakan konsep dalam praktek atau situasi yang baru. Contoh: Menggunakan pedoman/ aturan dalam menghitung gaji pegawai.
4.      Analisa (Analysis) – C4
Analisis adalah kategori atau tingkatan ke-4 dalam taksonomi Bloom tentang ranah (domain) kognitif. Analisis merupakan kemampuan menguraikan suatu materi menjadi bagian-bagiannya. Kemampuan menganalisis dapat berupa: (a) analisis elemen (mengidentifikasi bagian-bagian materi); (b) analisis hubungan (mengidentifikasi hubungan); (c) analisis pengorganisasian prinsip (mengidentifikasi pengorganisasian/organisasi). Contoh: Menganalisa penyebab meningkatnya Harga pokok penjualan dalam laporan keuangan dengan memisahkan komponen- komponennya.
5.      Sintesis (Synthesis) – C5
Level kelima adalah sintesis yang dimaknai sebagai kemampuan untuk memproduksi. Tingkatan kognitif kelima ini dapat berupa: (a) memproduksi komunikasi yang unik; (b) memproduksi rencana atau kegiatan yang utuh; dan (c) menghasilkan/memproduksi seperangkat hubungan abstrak. Contoh: Menyusun kurikulum dengan mengintegrasikan pendapat dan materi dari beberapa sumber.
6.      Evaluasi (Evaluation) – C6
Level ke-6 dari taksonomi Bloom pada ranah kognitif adalah evaluasi. Kemampuan melakukan evaluasi diartikan sebagai kemampuan menilai ‘manfaat’ suatu benda/hal untuk tujuan tertentu berdasarkan kriteria yang jelas. Paling tidak ada dua bentuk tingkat (level) evaluasi menurut Bloom, yaitu: (a) penilaian atau evaluasi berdasarkan bukti internal; dan (2) evaluasi berdasarkan bukti eksternal. Contoh: Membandingkan hasil ujian siswa dengan kunci jawaban.
2.      Ranah Afektif
Ranah Afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, penghargaan, semangat,minat, motivasi, dan sikap. Lima kategori ranah ini diurutkan mulai dari perilaku yang sederhana hingga yang paling kompleks.
1.      Penerimaan (Receiving) – A1
Mengacu kepada kemampuan memperhatikan dan memberikan respon terhadap sitimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif. Dankemampuan untuk menunjukkan atensi dan penghargaan terhadap orang lain. Contoh: mendengar pendapat orang lain, mengingat nama seseorang.
2.      Responsive (Responding) – A2
Satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi terlibat secara afektif, menjadi peserta dan tertarik. Kemampuan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan selalu termotivasi untuk segera bereaksi dan mengambil tindakan atas suatu kejadian. Contoh: berpartisipasi dalam diskusi kelas
3.      Nilai yang dianut (Value) – A3
Mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak atau tidak menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi “sikap dan opresiasi”. Serta Kemampuan menunjukkan nilai yang dianut untuk membedakan mana yang baik dan kurang baik terhadap suatu kejadian/obyek, dan nilai tersebut diekspresikan dalam perilaku. Contoh: Mengusulkan kegiatanCorporate Social Responsibility sesuai dengan nilai yang berlaku dan komitmen perusahaan.
4.      Organisasi (Organization) – A4
Mengacu kepada penyatuan nilai, sikap-sikap yang berbeda yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal dan membentuk suatu sistem nilai internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup. Dan Kemampuan membentuksystem nilai dan budaya organisasi dengan mengharmonisasikan perbedaan nilai. Contoh: Menyepakati dan mentaati etika profesi, mengakui perlunya keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.
5.      Karakterisasi (characterization) – A5
Mengacu kepada karakter dan daya hidup sesorang. Nilai-nilai sangat berkembang nilai teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa. DanKemampuan mengendalikan perilaku berdasarkan nilai yang dianut dan memperbaiki hubungan intrapersonal, interpersonal dan social. Contoh: Menunjukkan rasa percaya diri ketika bekerja sendiri, kooperatif dalam aktivitas kelompok
3.      Ranah Psikomotorik
Ranah Psikomotorik meliputi gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan motorik dan kemampuan fisik. Ketrampilan ini dapat diasah jika sering melakukannya. Perkembangan tersebut dapat diukur sudut kecepatan, ketepatan, jarak, cara/teknik pelaksanaan. Ada tujuh kategori dalam ranah psikomotorik mulai dari tingkat yang sederhana hingga tingkat yang rumit.


1.      Peniruan – P1
Terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan yang diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot saraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna.
2.      Manipulasi – P2
Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.
3.      Ketetapan – P3
Memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respon-respon lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.
4.      Artikulasi – P4
Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal di natara gerakan-gerakan yang berbeda.
5.      Pengalamiahan – P5
Menurut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.

IV. ASESMENT PEMBELAJARAN
A.    Hakekat Asesment
Asesmen merupakan bagian yang terpenting dalam proses pembelajaran di bidang studi apapun. Asesmen adalah proses pengumpulan informasi guna membuat keputusan (Anderson, 2003:xi). Popham (1995:3) mempertegas, bahwa ‘Educational assessment is a formal attempt to determine students’ status with respect to educational variables of interest’. Asesmen juga memiliki terminologi khusus guna mendeskripsikan sekalian aktivitas yang dikerjakan oleh pengajar untuk mendapatkan informasi tentang pengetahuan, ketrampilan dan sikap dari para pebelajar.  Asesmen dapat juga didefinisikan sebagai proses dari pengumpulan dan pengujian informasi untuk meningkatkan kejelasan pengertian tentang apa yang sudah dipelajari oleh pebelajar dari pengalaman-pengalamannya (Huba dan Freed, 2000:8). Tindakan asesmen sangat erat kaitannya dengan pengambilan keputusan.  Semakin meningkat jumlah peristiwa pengambilan keputusan dari asesmen tentang nasib pebelajar, semakin serius konsekuensi dan implikasinya dalam jangka panjang. Pengajar harus serius dalam mengemban masalah asesmen ini (Anderson, 2003:15).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan 4(empat) hal pokok terkait dengan tindakan asesmen:
-          Asesmen merupakan kegiatan mengumpulkan informasi karakteristik siswa yang dilakukan secara sistematis,
-          Tujuan utama proses asesmen dalam pendidikan adalah untuk menginterpretasikan perbedaan dalam pola-pola belajar siswa,
-          Asesmen dapat membantu pengajar memfokuskan diri pada strategi mengajar yang efisien dan tepat, dan
-          Asesmen pada dasarnya merupakan proses yang berlangsung terus-menerus.
Simpulan ini sejalan dengan PP. No.19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 1 angka 17 menetapkan  bahwa  asesmen (dalam PP disebut sebagai penilaian), adalah proses pengambilan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.

B.     Tujuan Asesment
Popham (1995:4-13) menyatakan bahwa asesmen bertujuan antara lain untuk :
1.      Mendiagnosa kelebihan dan kelemahan siswa dalam belajar,
2.      Memonitor kemajuan siswa,
3.      Menentukan jenjang kemampuan siswa,
4.      Menentukan efektivitas pembelajaran,
5.      Mempengaruhi persepsi publik tentang efektivitas pembelajaran,
6.      Mengevaluasi kinerja guru kelas, dan
7.      Mengklarifikasi tujuan pembelajaran yang dirancang guru.

C.    Fungsi Asesment
Fungsi assesmen dalam pembelajaran IPA diantaranya:
1.      Sebagai alat untuk merencanakan, pedoman, memperkaya pembelajaran IPA di kelas.
2.      Sebagai alat komunikasi dengan murid-murid, administrator dan orang tua murid, tentang pentingnya IPA.
3.      Sebagai alat untuk memonitor hasil belajar IPA dan perbaikan pembelajaran.
4.      Sebagai alat untuk memperbaiki kurikulum dan pengajaran IPA.

D.    Prinsip-Prinsip Asesment
1.      Proses yang transparan
2.      Memiliki validitas
3.      Dapat dipercaya
4.      Fleksibel
5.      Berkeadilan
6.      Praktis
7.      Sahih dan Handal
Sahih berarti soal atau tugas yang dikerjakan peserta diklat harus sesuai dengan kompetensi yang ingin dinilai.
8.      Adil
Penilaian harus adil untuk semua peserta diklat. Artinya penilaian tidak menguntungkan atau merugikan salah satu atau sekelompok peserta diklat yang dinilai.
9.      Terbuka
10.  Menyeluruh.
11.  Terpadu
12.  Berkesinambungan/ Berkelanjutan
13.  Bermakna

SUMBER :


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Strategi Pembelajaran Induktif dan Deduktif

Perkembangan Peserta Didik: Kebutuhan dan Pemenuhannya

Perkembangan Peserta Didik: Perkembangan Bakat Khusus